Di tengah perkembangan seni yang makin beragam, nama Gyotaku mulai sering terdengar di pameran dan ruang kreatif. Seni cetak ikan asal Jepang ini bukan sekadar unik dari sisi teknik, tapi juga membawa filosofi dan keindahan alami yang menarik perhatian seniman dan kolektor dari seluruh dunia. Tapi, kenapa ya teknik yang awalnya digunakan nelayan ini kini bisa jadi bagian dari seni kontemporer?
Apa Itu Gyotaku?
Sejarah Singkat Gyotaku
Gyotaku berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang, yaitu gyo (ikan) dan taku (mencetak). Metode ini diperkirakan mulai digunakan pada pertengahan abad ke-19 oleh para nelayan Jepang. Awalnya, seni ini berfungsi sebagai cara untuk mendokumentasikan hasil tangkapan mereka—semacam “foto” ikan sebelum kamera ada. Ikan diberi tinta lalu ditekan ke kertas atau kain untuk mencetak bentuk dan ukurannya.
Dari Dokumentasi ke Karya Seni
Seiring waktu, teknik ini berkembang. Tidak hanya digunakan untuk keperluan praktis, tapi mulai masuk ke dunia seni. Dengan tinta khusus, sentuhan warna, dan detail halus, hasil cetakan ikan menjadi karya yang bisa dipajang di galeri.
Mengapa Gyotaku Kembali Dilirik?
1. Seni yang Ramah Lingkungan
Salah satu alasan seni ini jadi populer lagi adalah karena sifatnya yang berkelanjutan. Tidak seperti seni lain yang bisa menghasilkan limbah bahan kimia atau plastik, seni ini cenderung memakai bahan alami dan tidak menghasilkan banyak sampah. Bahkan, beberapa seniman menggunakan ikan hasil tangkapan sendiri dan kemudian mengonsumsinya setelah proses cetak selesai.
2. Nilai Estetika yang Unik
Cetakan Gyotaku menampilkan tekstur, bentuk, dan detail ikan secara nyata—hal yang sulit ditiru oleh ilustrasi biasa. Kombinasi tinta hitam dan warna alami menambah daya tarik visual yang sederhana tapi elegan. Banyak orang yang menganggap seni ini sebagai bentuk seni yang mendamaikan antara manusia dan alam.
3. Filosofi Wabi-Sabi
Dalam budaya Jepang, ada filosofi bernama wabi-sabi yang mengajarkan tentang keindahan dalam ketidaksempurnaan. Nah, seni ini sangat mencerminkan konsep ini. Karena menggunakan bentuk ikan asli, hasil cetakan tidak akan pernah sama—setiap karya bersifat unik. Hal ini sangat disukai di dunia seni kontemporer yang mulai jenuh dengan karya digital atau produk massal.
4. Bisa Diakses Siapa Saja
Berbeda dengan seni lukis atau pahatan yang membutuhkan latihan bertahun-tahun, Gyotaku termasuk seni yang relatif mudah dipelajari. Bahkan banyak workshop untuk anak-anak atau pemula yang ingin mencoba membuat Gyotaku sendiri. Hal ini mendorong lebih banyak orang untuk mencoba, tanpa takut salah atau merasa “tidak cukup berbakat”.
Gyotaku di Mata Seniman Kontemporer
Kolaborasi dengan Seni Modern
Gyotaku tidak lagi hanya cetakan hitam-putih di kertas washi. Kini, seniman modern menggabungkannya dengan teknik mixed media, lukisan cat air, bahkan teknologi digital. Beberapa karya seni ini juga dijadikan bagian dari instalasi seni atau fashion, seperti dicetak di kain dan dijadikan busana.
Komunitas dan Pameran
Di berbagai negara, termasuk di luar Jepang, sudah banyak komunitas Gyotaku yang aktif berbagi karya dan pengetahuan. Beberapa galeri besar di Eropa dan Amerika juga mulai menampilkan karya Gyotaku sebagai bentuk seni yang langka tapi kuat secara visual dan filosofis.
Masa Depan Gyotaku di Dunia Seni
Banyak yang percaya bahwa Gyotaku bukan sekadar tren sesaat. Gaya hidup yang makin peduli lingkungan, keinginan untuk kembali ke seni yang autentik, dan apresiasi terhadap kerajinan tangan membuat Gyotaku makin punya tempat di hati para penikmat seni. Selain itu, seni ini juga membuka ruang dialog tentang hubungan manusia dengan laut, konservasi ikan, dan budaya lokal.
Penutup
Gyotaku telah membuktikan bahwa bahkan teknik sederhana dari nelayan bisa naik kelas jadi karya seni yang dihargai secara global. Di dunia seni kontemporer yang sering mencari hal baru, Gyotaku hadir sebagai pengingat bahwa terkadang, keindahan paling memikat justru datang dari sesuatu yang paling alami dan sederhana.
Baca juga : Sisi Gelap Kehidupan Seniman Terkenal: Antara Jenius dan Kegilaan